-
Rayakan Idul Fitri dan Raih Kemenangan Hakiki
Oleh : Isrizal, M.Pd
Kepala MTsN 1 Padang
Hari Raya Idul Fitri telah di depan mata. Setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, umat Islam merayakan Idul Fitri. Idul Fitri adalah saatnya kembali kepada fitrah setelah berpuasa. Fitrah bermakna asal kejadian, kesucian, dan keberagamaan yang lurus (hanif).
Puasa sebulan Ramadhan mendekatkan titik kesadaran rohani manusia kepada pusat semesta Allah Swt. Puasa merupakan latihan fisik, jiwa, dan tempaan kesalehan beragama yang paripurna.
Umat Islam menyambut Idul Fitri dengan menyerukan kalimat-kalimat takbir, tahlil dan tahmid. Takbir mensyiarkan keagungan Allah, Tuhan sekalian alam dan Tuhan pemelihara segala manusia. Tahlil menegaskan keyakinan tentang keesaan Allah. Tahmid memuji dan mensyukuri rahmat dan karunia-Nya yang tiada terhingga.
Puasa Ramadhan ditutup dengan menunaikan zakat fitrah dan shalat Idul Fitri di lapangan terbuka atau di masjid. Zakat Fitrah berfungsi sebagai pembersih dari perkataan dosa dan ucapan sia-sia. Sebagai ibadah yang berdimensi sosial, zakat fitrah melindungi fakir miskin di Hari Raya Idul Fitri. Kegembiraan dan kebahagiaan Idulfitri harus dinikmati secara merata tanpa memandang strata.
Seorang muslim tidak boleh mengabaikan orang miskin di sekelilingnya tanpa melakukan sesuatu untuk menolongnya. Kepekaan sosial amat penting, di samping kepekaan moral dan kepekaan intelektual. Nabi Muhammad mengingatkan dalam Hadits bahwa tidak beriman seseorang yang tidur nyenyak dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangga di sekitarnya tidak bisa tidur lantaran menahan lapar. Sayangilah semua makhluk di bumi, agar kalian disayangi oleh Tuhan yang di 'Arasy.
Dalam suasana Idul Fitri, umat Islam dianjurkan agar saling bermaafan, meminta dan memberi maaf serta saling mendoakan; Taqabbalallahu minna wa minkum, Minal aidin wal faizin (semoga Allah menerima amal ibadah kita, semoga kita kembali dari medan juang sebagai pemenang). Silaturahmi Idulfitri atau Halal Bi Halal telah menjadi bagian dari peradaban Islam di Nusantara.
Saling memaafkan dan mendoakan antar sesama menghadirkan suasana jiwa yang tenang dan damai. Jiwa yang pemaaf melahirkan kedamaian bagi diri sendiri dan orang lain di sekitar kita. Adapun jiwa yang menyimpan rasa benci dan dendam adalah jiwa yang tersiksa meski orang lain tidak mengetahui.
Tokoh ulama Indonesia H.S.M. Nasaruddin Latif dalam tulisannya di Majalah Kiblat berjudul Berhari Raya Idulfitri 1392 mengutarakan, “Fajar yang menyingsing di Hari Raya 1 Syawal adalah fajar yang menyerukan lisanul-hal-nya keagungan Ilahi, persaudaraan dan kedamaian bagi manusia yang hidup di muka bumi ini. Kalau sekiranya persaudaraan dan kedamaian itu belum bisa diwujudkan di seluruh dunia, namun setidak-tidaknya dalam hati kita selaku mukmin-muslim tentunya kita dapat menghidupkan dan menyuburkannya.”
Kumandang takbir pada 1 Syawal dilakukan oleh umat Islam dalam kebersamaan dan kesetaraan. Setiap muslim tidak boleh melepaskan diri atau berlepas diri dari persaudaraan antar sesama.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Seorang muslim bersaudara dengan muslim lainnya. Jangan ia menganiaya saudaranya. Jangan pula menghinanya. Barangsiapa memberi kecukupan kebutuhan saudaranya, Allah akan memberi kecukupan kebutuhannya. Barangsiapa melapangkan kesempitan seorang muslim, Allah akan melapangkan kesempitannya pada hari Kiamat. Barangsiapa menjaga aib seorang muslim, Allah akan menjaga aibnya pada hari Kiamat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu gemar menolong saudaranya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang Islam yang baik – ujar Nabi Muhammad – adalah orang yang aman dan selamat orang Islam lainnya dari gangguan lidah (ucapan) dan tangannya (perbuatannya). Seorang muslim dilarang menghina, menjelekkan dan memfitnah orang lain baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Menggunjing sesama manusia digambarkan dalam Al-Quran (QS Hujurat [49]: 12) bagaikan memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati.
Dalam sebuah Hadits, Nabi Muhammad melontarkan pertanyaan kepada para sahabat: “Jika negara-negara Persia dan Romawi sudah takluk kepadamu, menjadi manusia macam manakah kalian-kalian di waktu itu?”
Dijawab oleh Abdurrahman bin Auf, “Kami akan menjalankan hukum sesuai dengan yang telah diperintahkan Allah kepada kami.”
Disambut oleh Nabi, “…..atau lain dari itu?” Nabi kemudian bersabda, “(Dikhawatirkan) kalian bersaing antara satu dengan yang lain. Dan sebagai akibat dari saling bersaing itu, kalian saling dengki satu sama lain. Kemudian kalian saling benci-membenci. Kemudian kalian bertindak sewenang-wenang kepada golongan miskin dan lemah. Lalu kalian tempatkan golongan yang satu di atas yang lain.”
Sejalan dengan pesan inti Hadis di atas, segala ujaran kebencian, perbuatan menyakiti orang lain dan persaingan tidak sehat yang merusak persaudaraan umat sejagat harus dihindari. Nabi mengingatkan, “Janganlah kamu saling mendengki, saling membenci, saling mencari kesalahan yang lain, saling mengumpat dan jangan pula saling menipu. Jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Bukhari dan Muslim).
Segala perbedaan yang muncul di masyarakat tidak boleh menimbulkan pertentangan, permusuhan dan perpecahan. Oleh karena itu energi umat jangan terbuang karena mempertengkarkan persoalan yang tidak prinsipil, sesuatu yang tak ada manfaatnya untuk kemajuan umat dan bangsa.
Pesan-pesan kedamaian dan persaudaraan dalam Al Quran perlu sering dijelaskan dan diamalkan oleh para ulama dan pemimpin umat. Salah satunya firman Allah yang menegaskan, “Dan berpegang teguhlah pada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali Imran [3]: 103)
Semoga ibadah puasa menjadikan kita lebih baik. Selamat Idul Fitri 1444 H, Minal Aidin Wal Faidzin.